Oleh : Dr. Noviardi Ferzi*
EcoReview - Anomali pertumbuhan ekonomi Provinsi Jambi sudah sejak satu dekade lalu memunculkan tanda - tandanya. Indikasinya ketika Jambi mampu melakukan pertumbuhan ekonomi, namun pada saat bersamaan kemiskinan juga bertambah.
Idealnya, pertumbuhan bisa memangkas kemiskinan, bukan sebaliknya pertumbuhan yang melahirkan kelompok miskin baru. Sebuah anomali, kondisi yang terbalik dari semestinya.
Gejala kemiskinan dan pertumbuhan yang tak diharapkan ini dapat dilihat dari rilis BPS terakhir. Data BPS itu menyatakan Pertumbuhan kumulatif ekonomi Provinsi Jambi tahun 2022 mencapai 5,13 persen.
Namun nyatanya pertumbuhan tidak mengubah banyak struktur pendapatan masyarakat. Buktinya, bisa dilihat dari angka angka kemiskinan di Provinsi Jambi yang justru meningkat.
Tahun 2022, Jumlah penduduk miskin di Provinsi Jambi naik 4.450 orang, atau sebanyak 283.820 orang. Angka tersebut naik sebanyak 4.450 orang dibandingkan bulan Maret 2022.
Perbandingan sederhana untuk mengambarkan anomali ini di Pulau Sumatera, Jambi berada di posisi ke tujuh paling banyaknya penduduk Miskin, namun disisi lain pertumbuhan ekonomi Jambi termasuk paling tinggi di regional sumatera.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin pertumbuhan ekonomi terbaik di Sumatera tapi kemiskinan justru salah satu paling tinggi di Swarna Dwipa ? Tulisan ini mencoba menjawabnya.
Dalam dua tahun lebih kepemimpinan Gubernur Al Haris angka kemiskinan Provinsi Jambi mengalami stagnasi atau tak mengalami perubahan bahkan cenderung meningkat.
Fakta lain, kemiskinan yang meningkat ini disaat APBD Provinsi Jambi meningkat, di 2023 ini saja APBD Jambi mencapai 5,2 triliun, meningkat dari 4,7 triliun di tahun 2022 dan 4,5 triliun di 2021. Namun, sayangnya besaran anggaran ini kurang berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
Soal Ekonomi misalnya, meski Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Provinsi Jambi trend meningkat. Namun tidak berdampak pada kestabilan serta kesejahteraan masyarakat. Pada khususnya masyarakat eknomi menengah ke bawah.
LPE Provinsi Jambi memperlihatkan dimana ekonomi Jambi dikelola secara autopilot. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) bertambah akibat meningkatnya jumlah penduduk yang searah dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga.
Dengan PDRB Rp 233 triliun (2021) dan jumlah penduduk 3.5 juta jiwa, pendapatan per kapita Provinsi Jambi mencapai Rp56, 24 juta.
Kita bandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDRB) Kepulauan Riau sebesar Rp 249,08 triliun dengan jumlah penduduk 2,14 juta jiwa. Artinya PDRB per kapita provinsi dengan ibu kota Tanjung Pinang tersebut sebesar Rp 116,58 juta per kapita.
Lalu, jika yang miskin tetap miskin, sesungguhnya pembangunan sudah kehilangan esensinya, dan inilah yang terjadi di provinsi Jambi. Pembangunan kurang bermakna bagi sebagian masyarakat.
Pengentasan kemiskinan dalam semua bentuk dan dimensinya adalah sebuah syarat yang diperlukan untuk pembangunan berkelanjutan, inklusif dan adil yang menciptakan peluang yang lebih besar untuk semua golongan, mengurangi ketidaksetaraan, meningkatkan standar kehidupan dasar, mendorong pembangunan dan inklusi sosial yang adil, serta mendorong pengelolaan sumber daya alam dan ekosistem yang berkelanjutan dan terpadu.
Penyebab meningkatnya angka penduduk miskin di Provinsi Jambi di antaranya, inflasi yang tinggi dan belanja yang kurang berkualitas dari pemerintah termasuk kenaikan BBM di akhir 2022 lalu telah menjadi penyumbang kemiskinan.
Soal inflasi, sebenarnya pemerintah provinsi relatip gagal mengantisipasi risiko inflasi tinggi tahun ini. Padahal, inflasi tinggi dapat menggerus daya beli masyarakat yang selama ini menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi lokal.
Dalam hal ini Gubernur dan jajarannya perlu mewaspadai risiko percepatan laju inflasi yang naik terlalu tinggi dan turun begitu cepat naik juga cepat atau bergerak liar. Kondisi ini menurutnya akan menimbulkan ketidakpastian, memangkas daya beli masyarakat miskin dan menahan pemulihan ekonomi.
Karena itu, ia menyatakan pemerintah harus melakukan berbagai upaya untuk menjaga inflasi agar tetap stabil. Upaya tersebut menyusul kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), gas, dan tarif listrik subsidi.
Kisaran inflasi yang terjadi pada kisaran 6 - 7 persen perlu diantisipasi karena kenaikan ini tidak seiring dengan membaiknya kondisi ekonomi di masyarakat.
Inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin.
Selain inflasi, pertumbuhan ekonomi Jambi tergolong tak berkualitas, hal ini kita lihat dari data BPS di 2022 pertumbuhan tertinggi terjadi pada lapangan usaha transportasi Batubara dan pergudangan sebesar 16,92 persen.
Dari sisi pengeluaran pertumbuhan ekonomi tertinggi dicapai oleh komponen pengeluaran konsumsi lembaga non profit yang melayani rumah tangga (PK-LNPRT) sebesar 6,05 persen.
Ketika pertumbuhan ekonomi Jambi tidak ditopang pada investasi produktif dalam menciptakan usaha-usaha baru yang membuka banyak lapangan kerja masyarakat, malahan investasi di Jambi banyak yang mengerus daya saing berupa hilangnya sumber daya dan ketersediaan infrastruktur jalan seperti pertambangan dan angkutan batubara.
Sayangnya, ketika inflasi tinggi belanja pemerintah juga tak memberi kontribusi bearti. Hal inilah yang terjadi di Provinsi Jambi, pertumbuhan yang hanya menimbulkan anomali.
* Ekonom.