HOT TOPICS:
#Nasional





Keterwakilan Gender di Lembaga Penyelenggara Pemilu

Minggu, 26 Februari 2023 | 12:59:01 WIB


Oleh : Yuliana, SS*

Jambi - Perempuan harus hadir sebagai penyelenggara pemilu. Kenapa ? Pertanyaan ini mengelitik ketika saya mencermati jumlah pendaftar calon anggota KPU Provinsi Jambi Periode 2023 - 2028 mendatang.

 

Berdasarkan data terakhir di Siakba, dari 77 pendaftar, kaum laki - laki yang mendaftar 64 orang, sedangkan perempuan 13 orang atau 17 persen dari jumlah pendaftar, jauh dari kuota 30 persen perempuan yang diharapkan.

 

Padahal keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen merupakan hal yang diamanahkan dalam peraturan perundang-undangan. UUD 1945 Pasal 27 H ayat (2) menyatakan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. 

 

Undang - undang No 7 Tahun 2017 Pasal 10 ayat 7 dan Pasal 92 ayat 11 yang mengatur bahwa komposisi keanggotaan KPU dan Bawaslu memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. 

 

Kurangnya keterwakilan perempuan pada penyelenggara pemilu, bisa jadi disebabkan kontruksi budaya sosial, Pengetahuan kepemiluan yang kurang, hambatan geografis, regulasi dan lainnya.

 

Jurnal Konflik Gender dan Partisipasi Perempuan Sebagai Pengawas Pemilu 2019” yang ditulis oleh Yon Daryono (2020) mengungkap bahwa gagalnya keterlibatan perempuan untuk memenuhi kuota 30 persen sebagai pengawas pemilu, salah satunya karena faktor regulasi dan kelembagaan yang tidak dipahami secara utuh oleh para pihak. Adapun faktor lainnya adalah karakteristik individu, faktor lingkungan sosial dan budaya masyarakat. 

 

Kita harus peduli akan hal ini, karena, cara kepedulian terhadap perempuan itu mustahil terpenuhi jika penyelenggara pemilu tidak diisi perempuan secara setara dengan laki-laki.

 

Sikap mengabaikan keterwakilan perempuan dalam penyelenggara pemilu adalah sebuah kondisi yang menyalahi komitmen kesetaraan gender yg tlh diamanahkan UU serta prinsip SDGs, yang semakin mendorong maskulinisme politik. 

 

Selain itu bisa mendorong menurunnya partisipasi serta keterwakilan perempuan dalam politik, yang diawali dari kurangnya akomodasi kebijakan kepemiluan terhadap kondisi perempuan.

 

Kehadiran perempuan dalam proses Pemilu, sebagai Penyelenggara Pemilu, menjadi penting tidak hanya untuk pemenuhan kebutuhan 30 persen keterwakilan perempuan, tetapi juga memastikan penyelenggaraan Pemilu berlangsung secara berintegritas, adil, mandiri, profesional dan transparan sesuai asas dan prinsip Pemilu.

 

Keterwakilan perempuan sebagai Penyelenggara Pemilu minimal 30 persen akan mampu menciptakan penyelenggaraan Pemilu yang inklusif. Yaitu, terwujudnya keterwakilan perempuan dalam penyelenggaraan Pemilu, berdampak positif, antara lain : perempuan Penyelenggara Pemilu dapat mengawal suara Pemilih perempuan, suara perempuan tidak dicurangi, juga meningkatkan partisipasi perempuan. 

 

Karena bagaimanapun keterwakilan perempuan pada dua lembaga penyelenggara pemilu, KPU dan Bawaslu RI, menjadi awal dukungan keterwakilan politik perempuan. Yakni, dengan memastikan penyelenggara bukan hanya yang memahami politik gender, melainkan hadirnya perempuan secara angka dan makna.

 

Mengutip Joni Lovenduski (2008) dalam esainya Politik Berparas Perempuan menjelaskan argumentasi pentingnya politik yang diwakili perempuan. Argumen keadilan yang menyatakan dalam negara yang demokratis perempuan secara formal konstitusional sama dengan laki-laki.

 

Tuntutan ini dikenal sebagai Affirmative action (tindakan afirmatif) berupa kebijakan yang diambil yang bertujuan agar kelompok/golongan tertentu (gender ataupun profesi) memperoleh peluang yang setara dengan kelompok/golongan lain dalam bidang yang sama. Dapat pula diartikan sebagai kebijakan yang memberi keistimewaan pada kelompok tertentu. Peluang tersebut harus secara terbuka bisa dapat dimanfaatkan oleh gender kaum perempuan.

 

Afirmasi keterwakilan perempuan adalah hal yang mudah diucapkan tetapi sulit untuk mewujudkannya. Perempuan itu sendiri harus mau dan mampu menempatkan diri secara pas untuk seluruh bidang dan peluang. Karena itu urgensi keterwakilan perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu menjadi penting selaras dengan pentingnya penyelenggara pemilu yang independen dan jauh dari intervensi politik.

 

Lalu pertanyaanya, kenapa penting memastikan keterwakilan perempuan dalam komposisi penyelenggara pemilu. Setidaknya ada beberapa alasan penyelenggara pemilu dari kalangan perempuan harus lebih banyak.

 

Perempuan harus hadir di penyelenggara pemilu dikarenakan penyelenggara pemilu adalah regulator dan implementator penyelenggaraan pemilu. Dengan demikian, afirmasi perempuan diperlukan untuk memastikan kebijakan hulu ke hilir penyelenggaraan pemilu tidak bias gender, berpihak pada perempuan, dan inklusif.

 

Data DPT Provinsi Jambi pada Pilkada 2020 lalu, berjumlah 2.415.862 pemilih, dengan rincian pemilih laki-laki sebanyak 1.218.688 orang dan pemilih perempuan sebanyak 1.197.174 orang dari 11 Kabupaten/Kota yang tersebar di 141 Kecamatan dan 1.562 Desa/Kelurahan. Jumlah yang kurang lebih sama. Untuk membantu hak-hak para pemilih dengan baik, penyelenggara dituntut agar mengerti kebutuhan dan kendala pemilih perempuan.

 

Selanjutnya, UUD Tahun 1945 menjamin kesempatan yang sama antara perempuan dan laki-laki. Merujuk Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan, “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”. Perempuan semestinya diberikan kesempatan yang sama dalam memperjuangkan hak kolektifnya di KPU ataupun Bawaslu.

 

Tak mungkin penyelenggara pemilu dari kalangan laki-laki dapat memperjuangkan hak pemilih perempuan secara baik karena tidak menjadi bagian dari kelompok kolektif yang sama. Sementara Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menyebutkan, “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.

 

Selanjutnya, Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.

 

Pengarusutamaan gender merupakan strategi untuk mengintegrasi perspektif gender dalam pembangunan yang dimulai dari proses prencanaan, penganggaran, pelaksanaan serta pemantauan dan evaluasi seluruh kegiatan program pembangunan.

 

Kesetaraan gender dapat dicapai dengan mengurangi kesenjangan antara kaum laki-laki dan perempuan dalam mengakses dan mengontrol sumber daya, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan proses pembangunan serta mendapat manfaat dari kebijkan program pembangunan seluruh lini atau bidang.

 

Salah satu satu jalan untuk meningkatkan kesetaraan kaum perempuan di lembaga penyelenggara pemilu bisa dilakukan dengan memperbaiki regulasi teknis yang lebih memberikan jaminan terhadap penerapan prinsip afirmasi didalam setiap tahapan seleksi.Termasuk merancang mekanisme rekruitment yang memiliki presfektif gender yang kuat dan keahlian dibidang kepemiluan.

 

KPU perlu membuat langkah - langkah teknis untuk mengimplementasikan kebijakan kuota keterwakilan perempuan untuk tiap tahapan seleksi. Hal ini penting karena pemilu melibatkan pemilih yang sebagian besar adalah perempuan. Memastikan pembuatan kebijakan, penyelenggaraan tahapan pemilu, dan teknis kepemiluan berpihak pada perempuan adalah sebuah keniscayaan.

 

Dalam konteks tahapan Pemilu 2024 ke depan, pemilihan penyelenggara pemilu merupakan bagian dari sistem pemilu yang harus memastikan terwakili oleh perempuan sekurang-kurangnya dalam 30 persen kuota perempuan. Berarti jumlah yang diinginkan adalah setidaknya 2 orang perempuan di KPUD dan 2 orang perempuan di Bawaslu Provinsi Kabupaten Kota .

 

Batasan ini menjadi penting dalam mengakomodasi kepentingan pemilu inklusif dan jaminan kesamaan politik perempuan secara konstitusional yang pada akhirnya akan melahirkan efek domino berupa terimplementasinya kesetaraan sebagai salah satu indikator demokrasi, merangsang meningkatnya partisipasi politik pemilih perempuan, meningkatkan potensi meningkatnya kebijakan yg sensitif terhadap perempuan, mendorong terselesainya konflik secara persuasif, mengingat nature perempuan lebih memilih damai dari pada berkonflik secara hukum terbuka.

* Pemerhati Pemilu



Advertisement

Komentar Facebook