Oleh : Rika Kurniati Nasution *
Jambi - Secara Nasional Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) masih menunjukan kesenjangan yang nyata antara laki-laki dan perempuan. Meski secara trend untuk partisipasi perempuan dalam kehidupan ekonomi dan politik semakin meningkat, namun peningkatan tersebut menjadi semu jika dibandingkan affirmative action 30 % keterwakilan perempuan.
Jika melihat data di Komisi Pemilihan Umum, berdasarkan hasil pemilu tahun 2019, keterwakilan perempuan di Lembaga Legislatif Nasional atau DPR RI berada pada angka 20,8 persen atau 120 anggota legislatif perempuan dari 575 anggota DPR RI. Artinya amanat dari Affirmative Action tersebut belum juga terpenuhi.
Kebijakan affirmasi 30% adalah minimum atau sekurang-kurangnya atau paling sedikit, bukan “jatah” yang dimaknai tidak boleh melebihi dari jumlah yang ditentukan. Ketentuan keterwakilan perempuan minimal 30% di parlemen sama sekali tidak ditujukan untuk membatasi partisipasi perempuan dalam politik.
Menurut Titik Sumbung (2003) Ketentuan ini justru merupakan tindakan khusus sementara (temporary special measure) agar hak-hak perempuan yang selama ini didiskriminasi oleh nilai-nilai budaya yang dikonstruksi dalam masyarakat dapat ditegakkan.
Terkait dengan kebijakan afirmasi ini BPS menggunakan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) sebagai indikator yang digunakan untuk mengukur terlaksananya keadilan dan kesetaraan gender berdasakan partisipasi politik dan ekonomi.
Tiga indikator yang dipakai dalam IDG, antara lain keterlibatan perempuan di parlemen, partisipasi sebagai tenaga profesional, dan sumbangan dalam pendapatan pekerjaan.
Dalam mencapai pemberdayaan perempuan demi mewujudkan Indonesia yang maju, sangat dibutuhkan para pemimpin perempuan yang mengedepankan gaya transformatif. Kepemimpinan tranformatif yang mengedepankan kepentingan bersama bagi semua pihak, saling menginspirasi, saling mengarahkan, membimbing dan memotivasi, serta mengatasi berbagai permasalahan bersama, bukan saling menjatuhkan untuk mencapai tujuan.
Peranan perempuan hadir di politik adalah beyond election atau melampaui sekedar pemilihan umum, kehadiran perempuan di bidang politik adalah untuk pengabdian, dedikasi yang berujung kontribusi untuk bangsa dan negara.
Hadirnya perempuan di bidang politik dapat dimaknai sebagai suatu hal yang membanggakan, mampu memberikan penyelesaian terhadap problem-problem krusial menyangkut perempuan, anak dan keluarga. Permasalahan seperti kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan, angka stunting, penggunaan narkoba, HIV/Aids, pornografi adalah sedikit dari permasalahan yang membutuhkan penyelesaian dan kontribusi politik perempuan.
Kepemimpinan perempuan yang transformatif, diharapkan dapat membangun nilai-nilai sisterhood antar perempuan, persaudaraan dan pemberdayaan perempuan di tingkat lokal, nasional dan internasional.
Indonesia sendiri telah lama mengesahkan Undang-Undang terkait dengan Ratifikasi Konvensi Hak Politik Perempuan dalam UU No. 68 Tahun 1958, UU tersebut didalam mengatur terkait perwujudan kesamaan kedudukan atau non diskriminasi jaminan persamaan hak memilih dan dipilih jaminan partisipasi dalam perumusan kebijakan, kesempatan menempati posisi jabatan birokrasi, dan jaminan partisipasi dalam organisasi sosial politik.
Landasan yang kuat juga ada dalam UUD 1945 yaitu pasal 28 H Ayat (2) yang menyatakan “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
Ketentuan dalam UU maupun dalam UUD tersebut menjadi sebuah landasan yang kuat bagi semua kalangan dan golongan baik laki-laki maupun perempuan bebas dari segala diskriminasi dan memiliki kesempatan yang sama baik dari segi aspek sosial, aspek kehidupan, maupun aspek politik.
Selain itu di dalam UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu mengatur agar komposisi penyelenggara Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30%. Pasal 6 ayat (5) UU tersebut menyatakan bahwa : Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus).
Keterwakilan perempuan di DPR harus diiringi dengan sebuah pengawalan dan perjuangan yang berporos pada gender yang bisa berkelanjutan dama proses politik. Kurangnya kepercayaan dalam diri perempuan untuk bisa maju dan berpartisipasi dalam dunia politik, karena masih dipengaruhi oleh norma budaya dan masih melekatnya sistem budaya patriarki dalam kehidupan masyarakat.
Meskipun negara telah memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negaranya melalui amanat Undang-Undang, namun kaum perempuan merasa adanya sebuah diskriminasi secara tidak langsung yang mempengaruhinya dan masih kurang dipercayai untuk bisa ikut ambil dalam kontestasi politik, sehingga hal itu menyebabkan keterlibatan perempuan dalam politik masih rendah dan sebagian besar dalam dunia politik itu sendiri selalu di duduki oleh kaum laki-laki.
Namun apapun masalahnya, kaum perempuan diharapkan bisa dipercaya dan diberi kesempatan untuk bisa duduk di legislatif sehingga nantinya bisa tercipta sebuah sistem yang seimbang. Perempuan yang memiliki sifat yang lemah lembut harus diberi kesempatan yang sama dalam politik dan diberi kesempatan untuk bisa menjabat dan menduduki posisi strategis di dalam bidang politik, agar nantinya bisa mengeksploitasi dan mengimplementasikan kemampuan dan karakter dari perempuan itu sendiri sehingga nantinya melalui kepemimpinan perempuan bisa mensejahterahkan masyarakat.
Menurut Hanna Pitkin sebagaimana dikutip Nuri Soeseno ada empat pandangan yang berbeda mengenai keterwakilan, yaitu: (1) keterwakilan formal; (2) keterwakilan simbolis; (3) keterwakilan deskriptif; dan (4) keterwakilan substantif. Keterwakilan formal merupakan keterwakilan yang terbentuk sebagai hasil pengaturan institusional yang dilakukan sebelum keterwakilan ada.
Dalam kaitan ini Nuri Soeseno (2014) menyatakan Keterwakilan deskriptif merupakan sebuah bentuk keterwakilan yang berdasarkan pada persamaan atau kemiripan antara wakil dan yang diwakili (konstituen atau pemilih). Adapun keterwakilan substantif merupakan konsep keterwakilan yang menunjukkan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh seorang wakil adalah untuk kepentingan yang diwakilinya.
Kesimpulan dari tulisan ini pentingnya keterwakilan perempuan secara proporsional tidak semata- mata untuk merepresentasikan proporsionalitas jumlah penduduk perempuan Indonesia. Hal ini justru sekaligus sebagai bentuk pengakuan dan kesempatan yang sama atas harkat dan martabat perempuan sebagai warga negara yang diperlakukan sama dengan warga negara laki-laki oleh Bangsa Indonesia.
*Penyuluh Pertanian dan Ketua PPK Kecamatan Bahar Utara Kabupaten Muaro Jambi