Oleh : Dr. Nuraida Fitri Habi, S.Ag, M.Ag*
Jambi - Memahami dan mengetahui alur dan penyelesaian sengketa dan pelanggaran pada proses pemilu penting bagi masyarakat, anggota parpol, maupun penyelenggara pemilu 2024.
Dikatakan penting, karena proses tahapan penyelenggaraan pemilu rentan terjadi sengketa dan pelanggaran. Faktanya, dilapangan sengketa atau perselisihan mengenai proses dan hasil dalam pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) sampai pemilihan presiden (pilpres) bisa saja terjadi, oleh sebab itu, kita perlu memahami rambu-rambu demokrasi pemilu 2024.
Penggunaan istilah persengketaan dalam pelaksanaan pemilu maknanya lebih luas, dibanding dengan perselisihan pemilu. Istilah perselisihan hasil pemilu yang disampaikan oleh tiga pendapat dari Pataniari Siahaan, Ramlan Surbakti, dan I Dewa Gede Palguna. Ke semuanya menyatakan bahwa istilah perselisihan sering digunakan pada konteks hasil pemilihan.
Sedangkan Istilah persengketaan banyak digunakan oleh Soetijipto, Jimly Asshidiqie dan Asnawi Latief. Menurutnya, penggunaan istilah sengketa dapat dimaknai bahwa ruang lingkupnya meliputi semua jenis sengketa yang muncul dalam proses dan tahapan pemilihan.
Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan, masalah hukum dalam pelaksaan Pemilu terbagi menjadi 4, yaitu : 1. Pelanggaran pemilu, 2. Sengketa proses pemilu, 3, Perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) dan 4.Tindak pidana pemilu
Dalam Pasal 466 UU Pemilu disebutkan, definisi sengketa proses adalah sengketa yang terjadi antar peserta pemilu dan sengketa peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU), keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota.
Jadi dengan kata lain, sengketa proses pemilu bisa terjadi antar peserta atau antara peserta dengan penyelenggara pemilu. Sementara dalam Pasal 473 UU Pemilu disebutkan, yang dimaksud perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) adalah perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional.
Sengketa hasil pemilu ini berkaitan dengan perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) secara nasional yang meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi peserta pemilu.
Selain itu, perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara nasional meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi penetapan hasil pemilu Presiden dan Wakil Presiden juga termasuk dalam sengketa PHPU.
Berdasarkan UU No. 7 Tahun 2017 pula terdapat 3 jenis pelanggaran pemilu, yaitu pelanggaran kode etik pelanggaran Pemilu, pelanggaran administratif Pemilu, dan pelanggaran tindak pidana Pemilu.
Pelanggaran kode etik adalah pelanggaran etika penyelenggara pemilu terhadap sumpah dan janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu. Pelanggaran kode etik ditangani oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan putusannya berupa sanksi teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian tetap atau rehabilitasi.
Pelanggaran administratif adalah pelanggaran terhadap tata cara, prosedur atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan tahapan pemilu. Pelanggaran administratif pemilu ditangani oleh Bawaslu dan putusannya berupa perbaikan administrasi terhadap tata cara, prosedur atau mekanisme sesuai peraturan perundang-undangan, teguran tertulis, tidak diikutkan pada tahapan tertentu dalam penyelenggaraan pemilu atau sanksi administratif lainnya sesuai undang-undang pemilu.
Lalu, pelanggaran tindak pidana pemilu adalah tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana pemilu sebagaimana diatur dalam undang-undang pemilu serta undang-undang pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Tindak pidana pemilu ditangani oleh Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan yang tergabung dalam forum/lembaga Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu). Perkara tindak pidana pemilu diputus oleh pengadilan negeri, dan putusan ini dapat diajukan banding kepada pengadilan tinggi. Putusan pengadilan tinggi adalah putusan terakhir dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain.
Penanganan sengketa proses pemilu
Penanganan sengketa proses pemilu diserahkan kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kedua lembaga itu berwenang untuk menerima, memeriksa, dan memutus penyelesaian sengketa proses pemilu.
Tahapan yang dilakukan Bawaslu dalam penanganan sengketa proses pemilu adalah menerima permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu, kemudian melakukan verifikasi secara formal dan material permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu.
Proses selanjutnya adalah Bawaslu melakukan mediasi antarpihak yang bersengketa, kemudian melakukan proses adjudikasi sengketa proses Pemilu. Terakhir, Bawaslu akan memutus penyelesaian sengketa proses Pemilu.
Keputusan Bawaslu dalam penyelesaian sengketa proses pemilu bersifat final dan mengikat, kecuali terkait tiga hal yaitu verifikasi partai politik peserta pemilu, penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, dan penetapan pasangan calon.
Jika para pihak yang berselisih dalam sengketa proses pemilu belum menerima keputusan Bawaslu, maka mereka bisa mengajukan upaya hukum ke PTUN.
Penanganan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Lembaga yang diberi wewenang untuk menangani sengketa PHPU adalah Mahkamah Konstitusi. Hal itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang.
Dalam proses penanganan sengketa PHPU, putusan MK akan langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat putusan Mahkamah Konstitusi terkait penanganan perkara PHPU bersifat final dan mengikat (final and binding).
Selain itu sengketa dapat terjadi antar peserta pemilu dan peserta dengan penyelenggara pemilu, karena adanya hak peserta pemilu yang merasa dirugikan. Objek yang disengketakan dapat berupa surat keputusan KPU dan berita acara yang dibuat oleh KPU.
Mekanisme penyelesaian sengketa dilakukan melalui mediasi dan ajudikasi, dengan jangka waktu penyelesaian sengketa selama 12 hari.
Permohonan pengajuan sengketa, paling lambat tiga hari sejak dikeluarkannya berita acara maupun SK oleh KPU. Penyampaian permohonan bisa secara langsung ke kantor Bawaslu dan secara online dengan menyerahkan hardcopy pada Bawaslu selambatnya pada hari ketiga sesudah menyampaikan permohonan.
Adapun berkas yang harus dilengkapi diantaranya, permohonan penyelesaian sengketa, objek yang disengketakan, identitas pemohon, kuasa hukum, dan bukti pendaftaran. Selanjutnya, akan diverifikasi, dan jika memenuhi syarat akan diregistrasi. Kemudian, mediasi dilakukan selama dua hari antara dua pihak bersengketa secara tertutup, rahasia, dan netral. Saat mediasi, tidak boleh diwakilkan oleh kuasa hukum. Proses ajudikasi digelar, jika mediasi tidak menghasilkan kesepakatan.
Sengketa bisa gugur, jika pemohon meninggal dunia dan tidak hadir dua kali berturut-turut dalam mediasi maupun ajudikasi. Terkait sengketa SK KPU mengenai hasil hitung suara, rekapitulasi suara, dan penetapan hasil pemilu, sengketanya bisa diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Sementara itu, pelanggaran proses pemilu diantaranya, pelanggaran administrasi, kode etik, tindak pidana pemilu, dan pelanggaran hukum lainnya terkait netralitas ASN, dan TNI/Polri.
Pada pelanggaran, ada temuan dan laporan dari WNI yang memiliki hak pilih, pemantau pemilu, dan peserta pemilu. Syaratnya, identitas pelapor dan terlapor harus jelas, waktu pelaporan tidak lebih 7 hari sejak terjadinya pelanggaran, dan ada bukti serta saksi secara langsung yang melihat dan mendengar.
Pelapor bisa mengajukan laporan ke Bawaslu dan nantinya akan diregistrasi oleh petugas, dan dilanjutkan pengkajian. Prosesnya selama 7 hari dan bisa ditambah tujuh hari lagi, jika keterangan kurang lengkap. Terkait penanganan pelanggaran, melibatkan Bawaslu dan penegak hukum.
Terakhir, upaya Pencegahan Pelanggaran Pemilu menurut PerBawaslu Nomor 20 Tahun 2018, pencegahan pelanggaran dan sengketa proses pada tahapan penyelenggaraan Pemilu menjadi tanggung jawab bersama Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota dan dibantu oleh Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu LN, dan Pengawas TPS.
Dalam Pasal 4 disebutkan pelaksanaannya sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi dan memetakan potensi kerawanan Pemilu,
2. Mengoordinasikan, mensupervisi, membimbing, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan Pemilu
3. Berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait atau pemerintah daerah
4. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pemilu.
* Koordinator Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Provinsi Jambi dan Dosen Fakultas Syariah UIN STS Jambi.