Oleh : Ahmad Hadziq
(Pemerhati social dan Pemilu)
Meskipun masa kampanye dalam perhelatan Pemilu 2024 baru akan di mulai 28 November 2023 dan Komisi Pemilihan Umum belum menetapkan Daftar Calon Tetap (DCT), namun atribut sosialisasi caleg berupa spanduk dan baliho cukup menarik banyak perhatian. Penulis lebih memilih penyebutan baliho-baliho tersebut sebagai alat peraga sosialisasi bukan alat peraga kampanye, meskipun dalam Peraturan KPU di sebutkan bahwa alat peraga sosialisasi hanya berupa bendera partai politik dan nomor urutnya serta tidak ada memuat unsur ajakan (PKPU No.15/2023). Prasa tersebut bisa di maknai bahwa baliho yang banyak terpasang saat ini sudah memenuhi unsur kampanye karena memuat gambar orang, nomor urut bahkan beberapa yang menampilkan program kerjanya. Namun ketua Bawaslu Rahmat Bagja mengungkapkan bahwa spanduk atau baliho itu boleh saja terpasang dan tidak melanggar. Menurutnya kegiatan itu bisa di sebut kampanye apabila ada unsur ajakan, menawarkan visi-misi, program kerja, dan citra diri. Keempat unsur itu harus bersifat kumulatif baru bisa masuk unsur kampanye (Republika, 26/07/2023). Penulis tidak ingin masuk dalam perdebatan boleh atau tidak, anggap saja itu adalah rukhsoh dari ikhtilaf dalam memahami regulasi. Namun penulis ingin mengajak untuk melirik citra diri caleg dari baliho, nggak bahaya tah?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Citra di artikan gambaran; gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi, atau produk. Dalam konteks citra diri caleg berarti upaya menjelaskan gambaran tentang realitas pribadi caleg itu sendiri, meskipun gambaran itu mungkin saja tidak sesuai dengan realitas. Citra diri bisa terbentuk berdasarkan informasi yang diterima melalui berbagai media, utamanya media massa cetak dan elektronik, yang bekerja membentuk, mempertahankan, atau meredefinisikan citra. Upaya membangun citra diri memang di perbolehkan dalam Undang-undang Pemilu Nomor 7/2017 dalam ketentuan umum nomor 35 bahwa Kampanye adalah kegiatan Peserta Pemilu atau pihak lain yang di tunjuk untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta pemilu.
Entah karena sadar adanya Undang-undang yang memperbolehkan atau memang sudah menjadi kebutuhan politik, saat ini para bacaleg mulai berlomba-lomba melakukan citra dirinya. Sebenarnya banyak cara yang bisa dilakukan dan media yang bisa digunakan dalam membuat citra diri, dalam tulisan ini penulis fokus pada media Baliho. “Political Advertising: Why is it So Boring”. Demikian judul artikel yang ditulis oleh Scammell dan Langer (2006). Dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa iklan-iklan politik terkesan sangat membosankan bagi masyarakat. Sadar akan hal tersebut, para bacaleg dengan memanfaatkan jasa fotografer professional dan editor bermain dalam ranah pshyco-technic, meliputi permainan estetik, emosional, dan struktur naratif.
Untuk menarik perhatian, para caleg menampilkan foto balihonya semenarik mungkin dengan pesan-pesan naratif dalam upaya mempertegas citra dirinya. Hal ini sejalan dengan Roland Barthes dalam bukunya Image-Music-Text menyatakan bahwa image selalu di barengi dengan teks (Barthes,1984). Kita bisa melirik misalnya baliho caleg, selain dengan foto tersenyum ramah, menggunakan jaket dan berpeci putih dengan narasi “Siap Membawa Perubahan”. Baliho tesebut seolah mengidentikkan dirinya seorang relegius, ramah dan mewakili kaum milenial. Atau kita juga melirik baliho yang berpakaian kemeja putih, peci hitam dan bersarung dengan slogan “Dari Pesantren Membangun Negeri”, seolah mencitrakan dirinya sosok yang sederhana, dari kaum santri yang siap bekerja untuk negeri. Bahkan tidak jarang kita juga melirik baliho dengan background tokoh penting yang memberi kesan tokoh ini telah merestui caleg tersebut. Malah ada yang sebaliknya, justru menonjolkan tokoh penting sementara caleg tersebut berada di belakangnya. Hal ini bisa saja menimbulkan asumsi caleg tersebut hanya bisa berlindung di belakang tokoh tersebut atau bekerja di bawah bayang-bayang tokoh tersebut.
Pendapat setiap orang bisa saja berbeda dalam mengintrepetasikan foto baliho tersebut. Ini bisa dimaklumi karena baliho merupakan alat komunikasi non verbal yang bersifat pasif. Untuk lebih khusus dalam menganalisis pesan yang ada di baliho tersebut tentu dengan ilmu Semiotik melalui teori-teori pakar semiotik. Kembali kepada persoalan awal, melirik citra diri caleg dari baliho, nggak bahaya tah? Menurut penulis tentu sangat berbahaya. Karena baliho hanya bentuk komunikasi non verbal, maka ketika citra dirinya di interpretasikan sebagai seorang milenial tentu harus dibuktikan bukan hanya sekedar penampilan. Jika terinterpretasi seorang yang cerdas, perlu di ajak diskusi bukan sekedar slogan. Bahkan jika terinterpretasi bisa membawa perubahan, harus di lihat track recordnya apa yang sudah di lakukan. Intinya sebagai pemilih cerdas jangan mudah tergoda dengan tampilan yang menggoda.