Selamat Hari Pendidikan Nasional untuk seluruh insan Pendidikan di Indonesia. Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, kecerdasan buatan (AI) semakin banyak digunakan dalam dunia pendidikan. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting, Jika kecerdasan buatan mampu menyampaikan materi dengan cepat, akurat, dan tanpa lelah, apakah peran guru di kelas masih tak tergantikan di era teknologi modern ini?
Di era revolusi industri 4.0, kecerdasan buatan (AI) telah menembus berbagai sektor, mulai dari industri, layanan kesehatan, hingga pendidikan. Dalam dunia pendidikan, AI hadir dalam bentuk chatbot pengajar, sistem penilaian otomatis, hingga platform pembelajaran adaptif. Kemajuan ini menimbulkan satu pertanyaan besar: mungkinkah AI menggantikan peran guru sepenuhnya di masa depan?
Beberapa pihak berpendapat bahwa AI sangat potensial mengambil alih sebagian besar tugas guru. Sistem seperti Squirrel AI di Tiongkok dan Century Tech di Inggris telah menunjukkan kemampuan luar biasa dalam memberikan materi pembelajaran yang disesuaikan dengan kecepatan dan gaya belajar siswa. Menurut laporan World Economic Forum (2020), AI bahkan mampu menghemat waktu guru hingga 30% dengan otomatisasi tugas administratif dan penilaian.
Namun, pendidikan bukan semata tentang penyampaian materi. Guru juga berperan sebagai fasilitator, motivator, dan pembimbing emosional bagi siswa. Studi dari University of Cambridge (2022) menyatakan bahwa interaksi sosial antara guru dan siswa memainkan peran penting dalam membentuk karakter, empati, dan motivasi belajar. Di sinilah AI menemui batasnya—robot mungkin bisa membaca ekspresi wajah, tapi belum bisa benar-benar memahami nuansa emosi manusia.
Sebagai contoh, Finlandia, negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, tetap menekankan pentingnya hubungan interpersonal dalam proses belajar-mengajar. Meski telah mengintegrasikan teknologi secara masif, Finlandia tidak mengganti peran guru dengan AI, melainkan memposisikan teknologi sebagai alat bantu, bukan pengganti.
Di sisi lain, India telah mengimplementasikan sistem AI bernama "Aarambh" untuk menjangkau daerah terpencil dengan minim akses guru berkualitas. Hasilnya cukup signifikan dalam meningkatkan capaian akademik siswa. Namun, studi lanjutan oleh UNESCO menunjukkan bahwa dampak emosional dan sosial pada siswa tetap lebih rendah dibanding pembelajaran langsung oleh guru manusia.
Perlu dipahami bahwa AI sangat baik dalam mengolah data besar dan memberikan solusi instan, tetapi dalam pendidikan, proses adalah bagian dari tujuan. Guru tidak hanya mendidik, tetapi juga menginspirasi. Tokoh-tokoh besar seperti Albert Einstein dan Nelson Mandela pun menyatakan bahwa pendidikan sejati membentuk kepribadian, bukan sekadar memberi pengetahuan.
Kecanggihan AI justru membuka peluang kolaboratif antara teknologi dan manusia. Bayangkan jika guru dibekali AI untuk mengidentifikasi kesulitan belajar siswa secara cepat, sehingga mereka dapat memberikan perhatian yang lebih personal. Inilah konsep "blended learning", di mana guru dan AI berjalan beriringan demi hasil belajar yang optimal.
Lebih jauh, kita perlu menanyakan: apakah kita ingin generasi masa depan dibentuk oleh algoritma atau oleh manusia yang memahami nilai, etika, dan konteks budaya? Karena AI, seberapa pintar pun, masih merupakan ciptaan manusia yang tidak memiliki intuisi moral dan nilai kemanusiaan.
Kesimpulannya, AI mungkin dapat menggantikan sebagian fungsi guru, tetapi tidak akan mampu menggantikan esensinya.
Guru adalah jembatan antara pengetahuan dan nilai kehidupan, sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh mesin. AI bukan pengganti, melainkan partner—dan justru karena itulah, masa depan pendidikan bisa menjadi lebih cerah, asalkan kolaborasi ini dijalankan dengan bijak.