Oleh : Dida Helena, S.IP , M.SI
Visi “Jambi Bahagia” yang digaungkan Pemerintah Kota Jambi sejak beberapa tahun terakhir patut diapresiasi. Di tengah tuntutan pembangunan yang semakin kompleks, keberanian mengusung kata “bahagia” sebagai tujuan pembangunan menunjukkan niat baik: menjadikan kesejahteraan warga sebagai pusat perhatian. Namun, di balik optimisme tersebut, pertanyaan krusial masih mengemuka: sudahkah seluruh warga Kota Jambi benar-benar merasakan kebahagiaan itu?
Data terbaru dari BPS menunjukkan bahwa Kota Jambi mencatat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 81,77 pada tahun 2024—angka yang sangat tinggi dan menandakan keberhasilan dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan daya beli. Pendapatan per kapita pun meningkat, menyentuh Rp 64,6 juta per tahun, dan tingkat kemiskinan berhasil ditekan dari 8,24% menjadi 7,73%. Dari permukaan, tampak bahwa Jambi memang sedang melangkah menuju “kota bahagia”.
Namun, angka tidak selalu mampu menangkap realitas yang dirasakan warga sehari-hari. Indeks Gini Kota Jambi yang tercatat di angka 0,37 menunjukkan bahwa ketimpangan masih cukup tinggi. Artinya, distribusi kekayaan belum merata. Segelintir kelompok menikmati hasil pembangunan, sementara sebagian warga, terutama di pinggiran kota, belum tersentuh secara adil.
Di beberapa kelurahan padat seperti Danau Teluk atau Paal Merah, akses terhadap layanan kesehatan, air bersih, dan infrastruktur masih belum ideal. Keluhan soal jalan rusak, banjir lokal, hingga biaya pendidikan yang tinggi terus muncul dari warga yang merasa tertinggal. Di sinilah letak pekerjaan rumah besar bagi Pemerintah Kota: memastikan bahwa visi “Jambi Bahagia” bukan hanya dirasakan oleh segelintir orang di pusat kota, tetapi oleh semua warga tanpa terkecuali.
Perlu diakui, Pemkot Jambi telah melakukan berbagai upaya: dari bedah rumah untuk masyarakat miskin, pelatihan UMKM, hingga pembangunan infrastruktur jalan dan digitalisasi layanan publik. Namun, langkah-langkah ini masih bersifat sektoral dan belum terintegrasi dalam kerangka besar pemerataan sosial.
Untuk benar-benar mewujudkan “Jambi Bahagia”, Pemkot perlu menempuh strategi yang lebih sistemik. Pertama, perluasan akses dan layanan publik di daerah pinggiran kota harus menjadi prioritas. Kedua, kebijakan ekonomi harus lebih berpihak pada kelompok rentan, bukan hanya menumbuhkan investasi besar. Ketiga, partisipasi warga dalam perencanaan pembangunan harus diperkuat, karena kebijakan yang baik lahir dari pemahaman terhadap kebutuhan nyata di lapangan.
Kebahagiaan bukan sekadar angka, melainkan kondisi hidup yang layak, adil, dan bermartabat. Jika Pemkot Jambi ingin mewujudkan visi ini secara utuh, maka pembangunan tidak boleh hanya berfokus pada angka makro atau pusat kota saja. “Jambi Bahagia” baru akan menjadi kenyataan jika seluruh warganya merasakan kemajuan secara merata, tidak terkecuali mereka yang berada di pinggiran dan lapisan bawah masyarakat.
Jambi tidak kekurangan potensi—yang dibutuhkan adalah komitmen untuk menjadikan kebahagiaan sebagai hak bersama, bukan hak istimewa. Maka dari itu, slogan harus dibuktikan dengan kebijakan yang berpihak, transparan, dan merata.